This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 28 Januari 2015

QOSIADAH HABIB ALI ALHABSYI

يَارَبَّنَـا يَـاوَدُوْد   نَسْأَلكْ فَكِّ الْقُيُـودْ
                    وَنَيْلَ كُلِّ اْلقُصُودْ   وَاغْفِرْلَنَا  أَجْمَعِينْ
يَارَبِّ يَاذَاالْعَـطَا   نَسْأَلكْ كَشْفَ اْلِغطَا
                    وَمَحْوَ كُلِّ الْخَطَا   وَكُنْ لَنَا يَـامُعِينْ
وَهَبْ لَنَامَا نَرُومْ   مِنْ نَافِعَاتِ  اْلعُلُـومْ
           عَسَى بِفَضْلِكْ نَعُومْ   فِي بَحْرِحَقِّ اْليَقِينْ
وَهَبْ لَنَا مَانُرِيدْ   نَـكُوْنُ خَيْرَ الْعَبِيـدْ
              وَفِي جِنَانِ الْمَزِيدْ   عَسَى مِنَ  الْخَالِدِينْ
يَارَبِّ يَاذَاالْجَلاَل   بَدِّدْ جُـيُوشَ  الضَّلاَلْ
            وَاصْلِحْ لَنَاكُلَّ حَالْ  وَاقْطَعْ عُرَى اْلمُفْسِدِينْ


  ====*====


APA YANG DI MAKSUD ZUHUD ?

3 Makna Zuhud
Zuhud terhadap dunia bisa ditafsirkan dengan tiga pengertian yang kesemuanya merupakan amalan hati dan bukan amalan tubuh. Oleh karenanya, Abu Sulaiman mengatakan, 
لاَ تَشْهَدْ ِلأَحَدٍ بِالزُّهْدِ ، فَإِنَّالزُّهْدَ فِي الْقَلْبِ
“Janganlah engkau mempersaksikan bahwa seorang itu telah berlaku zuhud (secara lahiriah), karena zuhud itu letaknya di hati”
1.     Makna pertama:

Zuhud adalah hamba lebih meyakini rezeki yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di tangannya.

Hal ini tumbuh dari bersih dan kuatnya keyakinan, karena sesungguhnya Allah telah menanggung dan memastikan jatah rezeki setiap hamba-Nya sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya"
[Huud: 6]. 

ALLAH  juga berfirman, :
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَاتُوعَدُونَ

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu
[Adz Dzaariyaat: 22].

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ
“Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia [Ankabuut: 17].
Al Hasan mengatakan :
إِنَّ مِنْ ضَعْفِ يَقِينِكَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِكَ أَوْ ثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Salah satu bentuk lemahnya keyakinanmu terhadap Allah adalah anda lebih meyakini apa yang ada ditangan daripada apa yang ada di tangan-Nya”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan :
إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَاقَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ دَقِيقٌ
“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah”
Masruq mengatakan :
إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744);Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (2/97)].
Imam Ahmad mengatakan :
أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
Pernah juga beliau ditanya :
أَنَا أَخَافُ الْفَقْرَ وَمَوْلاَيَ لَهُمَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثََّرَى.
“Tidakkah anda khawatir akan kefakiran?” Beliau menjawab,“Bagaimana bisa saya takut fakir sementara Pemelihara-ku memiliki segala yang ada di langit, bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan di bawah tanah.”
Selembar kertas pernah diserahkan kepada ‘Ali ibnu Muwaffaq, dia pun membacanya dan di dalamnya tertulis :
يَاعَلِيَّ بْنُ الْمُوَفَّقِ أَتَخَافُ الْفَقْرَ وَأَنَا رَبُّكَ؟
“Wahai ‘Ali ibnul Muwaffaq, masihkah engkau takut akan kefakiran sementara Aku adalah Rabb-mu?”
Al Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan :
أَصْلُ الزُّهْدِ الرِّضَا عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Akar zuhud adalah ridha terhadap apa yang ditetapkan Allah‘azza wa jalla.” [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (960, 3045); Abu'Abdirrahman As Sulami dalam Thabaqatush Shufiyah (10)].
Dengan demikian, setiap orang yang merealisasikan rasa yakin kepada Allah, mempercayakan segala urusannya kepada Allah, ridha terhadap segala pengaturan-Nya, memutus ketergantungan kepada makhluk baik rasa takut dan harapnya, dan semua hal tadi menghalanginya untuk mencari dunia dengan sebab-sebab yang dibenci, maka setiap orang yang keadaannya demikian sesungguhnya dia telah bersikap zuhud terhadap dunia. Dia termasuk orang yang kaya meski tidak memiliki secuil harta dunia
Sebagaimana yang dikatakan oleh‘Ammar :
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا، وَكَفَى بِالْيَقِينِ غِنًى، وَكَفَى بِالْعِبَادَةِ شُغُلاً
“Cukuplah kematian sebagai nasehat, yakin kepada Allah sebagai kekayaan, dan ibadah sebagai kesibukan.” [Diriwayatkan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (10556) dari 'Ammar bin Yasar secara marfu'].
Ibnu Mas’ud mengatakan :
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَاتَحْمَدَ أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْيُؤْتِكَ اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَايَرُدُّهُ كَرَاهَةُ كَارِهٍ،فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ وَحُكْمِهِ
جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ الْهَمَّوَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak memuji seseorang demi mendapatkan rezeki yang berasal dari Allah, dan tidak mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala – dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikanketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya serta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam keraguan dan kebencian”
 [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Di dalam sebuah hadits mursal disebutkan bahwa nabi shallallahu‘alaihi wa sallam berdo’a dengan do’a berikut :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًايُبَاشِرُ قَلْبِي، وَيَقِينًا [صَادِقًا] حَتَّى أَعْلَمَ أَنَّهُ لَايَمْنَعُنِي رِزْقًا قَسَمْتَهُ لِي، وَرَضِّنِي مِنَ الْمَعِيشَةِ بِمَا قَسَمْتَلِي
“Ya Allah saya memohon kepada-Mu iman yang mampu mengendalikan hatiku, keyakinan yang benar sehingga saya mengetahui bahwasanya hal itu tidak menghalangi rezeki yang telah Engkau bagikan kepadaku, dan jadikanlah saya ridha atas sumber penghidupan yang telah Engkau bagikan kepadaku.”[Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (112)].
Dulu, ‘Atha Al Khurasani tidak akan beranjak dari majelisnya hingga mengucapkan :
اللَّهُمَّ هَبْ لَنَا يَقِينًا مِنْكَ حَتَّى تُهَوِّنَ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، وَحَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَايُصِيبُنَا إِلَّا مَا كَتَبْتَ عَلَيْنَا، وَلَا يُصِيبُنَا مِنَ الرِّزْقِ إِلَّا مَا قَسَمْتَ لَنَا
“Ya Allah, berilah kami rasa yakin terhadap diri-Mu sehingga mampu menjadikan kami menganggap ringan musibah dunia yang ada, sehingga kami meyakini bahwa tidak ada yang menimpa kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan kepada kami, dan meyakini bahwa rezeki yang kami peroleh adalah apa yang telah Engkau bagi kepada kami.”  [Driwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam AlYaqin (108)].
Diriwayatkan kepada kami secara marfu’ bahwa Ibnu ‘Abbas mengatakan :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ أَغْنَى النَّاسِ،فَلْيَكُنْ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْهُ بِمَا فِي يَدِهِ
“Barang siapa yang suka menjadi orang terkaya, maka hendaklah dia lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada ditangannya.”   [Diriwayatkan Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/218-219; Al Qadha'i dalam Musnad Asy Syihab (367 & 368) dari hadits 'Abdullah bin 'Abbas].

2.      Makna Kedua

Zuhud adalah: apabila hamba tertimpa musibah dalam kehidupan dunia seperti hilangnya harta, anak, atau selainnya, maka dia lebih senang memperoleh pahala atas hilangnya hal tersebut dari pada hal itu tetap berada di sampingnya.

Hal ini juga muncul dari sempurnanya rasa yakin kepada Allah.
Diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata dalam do’anya:
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَامَصَائِبَ الدُّنْيَا
“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.”
 [HR.Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528);Al Baghawi (1374). At Tirmidzi mengatakan, "Hadits hasan gharib"].

Do’a tersebut merupakan tanda zuhud dan minimnya kecintaan kepada dunia sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali radhiallahu ‘anhu,

3.     Makna Ketiga
Zuhud adalah: hamba memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran.

Hal ini merupakan tanda bahwa dirinya zuhud terhadap dunia, menganggapnya sebagai sesuatu yang remeh, dan minimnya kecintaan dirinya kepada dunia. Sesungguhnya setiap orang yang mengagungkan dunia akan cinta kepada pujian dan benci pada celaan. Terkadang hal itu menggiring dirinya untuktidak mengamalkan kebenaran karena takut celaan dan melakukan berbagaikebatilan karena ingin pujian.
Dengan demikian, setiap orang yang memandang sama orang yang memuji dan mencelanya ketika dirinya berada di atas kebenaran, maka hal ini menunjukkan bahwa jabatan/kedudukan yang dimiliki manusia tidaklah berpengaruh di dalam hatinya dan juga menunjukkan bahwa hatinya dipenuhi rasa cinta akan kebenaran serta ridha kepada Allah. Hal ini seperti yang dikatakan oleh IbnuMas’ud :

إِنَّ مِنْ ضَعْفِ الْيَقِينِ أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ بِسَخَطِ اللَّهِ وَأَنْ تَحْمَدَهُمْ عَلَى رِزْقِ اللَّهِ
“Paling lemahnyakeYakinan itu adalah engkau mencari ridha manusia dengan cara menimbulkan kemurkaan Allah. Dan hendaknya mereka bersyukur atas rizki Allah berikan.


===**===

APAKAH MAKNA IKHLAS ITU ?

Makna Ikhlas

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahullah pernah ditanyai tentang apa makna ‘al-Ikhlas’? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?

Jawaban:
Ikhlas
kepada Allah subhanahu wata’ala maknanya: seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wata’ala dan mendapatkan keridhaanNya.
Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:
Pertama, dia memang ingin ber-taqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.
Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alahi wasallam bersabda, “Allah subhanahu wata’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.”[1]
Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan ber-taqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16).
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga, dia bermaksud untuk ber-taqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jamaah haji; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala mengenai para jamaah haji,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُم
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198).
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,
وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58).
Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah sholallaahu’alaihi wasallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi sholallaahu’alaihi wasallam tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.”[2]
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththab rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrah-nya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”.[3]
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisisi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas.”
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
=== ** ===


Minggu, 25 Januari 2015

Kisah bakti anak kepada orang tuanya

KISAH PEMUDA BERIBU-BAPAKAN BABI

Nabi Musa adalah satu-satunya Nabi yang boleh bercakap terus dengan Allah S.W.T Setiap kali dia hendak bermunajat, Nabi Musa akan naik ke Bukit Tursina. Di atas bukit itulah dia akan bercakap dengan Allah. Nabi Musa sering bertanya dan Allah akan menjawab pada waktu itu juga. Inilah kelebihannya yang tidak ada pada nabi-nabi lain.
Suatu hari Nabi Musa telah bertanya kepada Allah. "Ya Allah, siapakah orang di syurga nanti yang akan berjiran dengan aku?".
Allah pun menjawab dengan mengatakan nama orang itu, kampung serta tempat tinggalnya. Setelah mendapat jawapan, Nabi Musa turun dari Bukit Tursina dan terus berjalan mengikut tempat yang diberitahu. Setelah beberapa hari di dalam perjalanan akhirnya sampai juga Nabi Musa ke tempat berkenaan.

Dengan pertolongan beberapa orang penduduk di situ, beliau berjaya bertemu dengan orang tersebut. Setelah memberi salam beliau dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Tuan rumah itu tidak melayan Nabi Musa. Dia masuk ke dalam bilik dan melakukan sesuatu di dalam. Sebentar kemudian dia keluar sambil membawa seekor babi betina yang besar. Babi itu didukungnya dengan cermat. Nabi Musa terkejut melihatnya. "Apa hal ini?, kata Nabi Musa berbisik dalam hatinya penuh kehairanan.

Babi itu dibersihkan dan dimandikan dengan baik. Setelah itu babi itu dilap sampai kering serta dipeluk cium kemudian dihantar semula ke dalam bilik. Tidak lama kemudian dia keluar sekali lagi dengan membawa pula seekor babi jantan yang lebih besar. Babi itu juga dimandikan dan dibersihkan. Kemudian dilap hingga kering dan dipeluk serta cium dengan penuh kasih sayang. Babi itu kemudiannya dihantar semula ke bilik.
Selesai kerjanya barulah dia melayan Nabi Musa. "Wahai saudara! Apa agama kamu?". "Aku agama Tauhid", jawab pemuda itu iaitu agama Islam. "Habis, mengapa kamu membela babi? Kita tidak boleh berbuat begitu." Kata Nabi Musa.

"Wahai tuan hamba", kata pemuda itu. "Sebenarnya kedua babi itu adalah ibubapa kandungku. Oleh kerana mereka telah melakukan dosa yang besar, Allah telah menukarkan rupa mereka menjadi babi yang bodoh rupanya. Soal dosa mereka dengan Allah itu soal lain. Itu urusannya dengan Allah. Aku sebagai anaknya tetap melaksanakan kewajibanku sebagai anak. Hari-hari aku berbakti kepada kedua ibubapaku sepertimana yang tuan hamba lihat tadi. Walaupun rupa mereka sudah menjadi babi, aku tetap melaksanakan tugasku.", sambungnya.

"Setiap hari aku berdoa kepada Allah agar mereka diampunkan. Aku bermohon supaya Allah menukarkan wajah mereka menjadi manusia yang sebenarnya, tetapi Allah masih belum memakbulkan lagi.", tambah pemuda itu lagi.
Maka ketika itu juga Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Musa a.s. 'Wahai Musa, inilah orang yang akan berjiran dengan kamu di Syurga nanti, hasil baktinya yang sangat tinggi kepasa kedua ibubapanya. Ibubapanya yang sudah buruk dengan rupa babi pun dia berbakti juga. Oleh itu Kami naikkan maqamnya sebagai anak soleh disisi Kami."

Allah juga berfirman lagi yang bermaksud : "Oleh kerana dia telah berada di maqam anak yang soleh disisi Kami, maka Kami angkat doanya. Tempat kedua ibubapanya yang Kami sediakan di dalam neraka telah Kami pindahkan ke dalam syurga." Itulah berkat anak yang soleh.
Doa anak yang soleh dapat menebus dosa ibubapa yang akan masuk ke dalam neraka pindah ke syurga. Ini juga hendaklah dengan syarat dia berbakti kepada ibubapanya. Walaupun hingga ke peringkat rupa ayah dan ibunya seperti babi. Mudah-mudahan ibubapa kita mendapat tempat yang baik di akhirat kelak.

Walau bagaimana buruk sekali pun perangai kedua ibubapa kita itu bukan urusan kita, urusan kita ialah menjaga mereka dengan penuh kasih sayang sebagaimana mereka menjaga kita sewaktu kecil hingga dewasa.
Walau banyak mana sekali pun dosa yang mereka lakukan, itu juga bukan urusan kita, urusan kita ialah meminta ampun kepada Allah S.W.T supaya kedua ibubapa kita diampuni Allah S.W.T.

Doa anak yang soleh akan membantu kedua ibubapanya mendapat tempat yang baik di akhirat, inilah yang dinanti-nantikan oleh para ibubapa di alam kubur.

Arti sayang seorang anak kepada ibu dan bapanya bukan melalui hantaran uang ringgit, tetapi sayang seorang anak pada kedua ibubapanya ialah dengan doanya supaya kedua ibubapanya mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah.
Untuk mengetahui lebih mendalam kisah alam akhirat sila dapatkan buku terbitan syarikat Nurulhas yang berjudul: BILA IZRAIL A.S. DATANG MEMANGGIL .


AL ALIM ALAMAH AL-HABIB ABDULLAH bin ALWI AL-HADDAD

Manaqib Al-Imam Al-’Allamah Al-Habib Abdullah Bin Alawi Al-Haddad Shohibur Ratib, Bagian 01

Al-Imam Al-’Allamah Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, di lahirkan di Syubair السبيْر di salah satu ujung Kota Tarim di provinsi Hadhramaut-Yemen pada tanggal 5 Safar tahun 1044 H. Beliau di besarkan di Kota Tarim dan di saat beliau berumur 4 tahun, beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkan kedua mata beliau tidak dapat melihat.
Meskipun kedua mata beliau tidak dapat melihat sejak usia dini, beliau tetap tidak memutuskan gairahnya untuk menuntut ilmu-ilmu agama dan mengisi masa kecilnya dengan berbagai macam ibadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT, sehingga mulai dari sejak usia dini, hidupnya sangat berkah dan berguna.
Ayah beliau, al-Habib Alawi bin Muhammad al-Haddad berkata: “Sebelum aku menikah, aku berkunjung kerumah al-’Arif Billah al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Habsyi di Kota Syi’ib untuk meminta do’a. Lalu al-Habib Ahmad menjawabku:
“Awlaaduka Awlaadunaa Fiihim Albarakah”
Artinya: “Putera-puteramu termasuk juga putera-putera kami, pada mereka terdapat berkah.”
Selanjutnya, al-Habib Alawi al-Haddad berkata: “Aku tidak mengerti arti ucapan al-Habib Ahmad itu, sampai setelah lahirnya puteraku, Abdullah dan berbagai tanda-tanda kewalian dan kejeniusannya.”
Semenjak kecil, al-Habib Abdullah al-Haddad telah termotivasi untuk menimba ilmu dan gemar beribadah. Tentang masa kecilnya, al-Habib Abdullah berkata: “Jika aku kembali dari tempat belajarku pada waktu Dhuha, maka aku mendatangi sejumlah masjid untuk melakukan shalat sunnah seratus rakaat setiap harinya.”
Kemudian untuk mengetahui betapa besar kemauan beliau untuk beribadah di masa kecilnya, al-Habib Abdullah menuturkannya sebagai berikut: “Di masa kecilku, aku sangat gemar dan bersungguh-sungguh dalam ibadah dan mujahadah, sampai nenekku seorang wanita shalihah yang bernama asy-Syarifah Salma binti al-Habib Umar bin Ahmad al-Manfar Ba’alawi berkata: ‘Wahai anak kasihanilah dirimu.’ Ia mengucapkan kalimat itu, karena merasa kasihan kepadaku ketika melihat kesungguhanku dalam ibadah dan bermujahadah.”
Seorang sahabat dekat al-Habib Abdullah al-Haddad berkata: “Ketika aku berkunjung kerumah al-Habib Abdullah bin Ahmad Bilfagih, maka ia bercerita kepada kami: ‘Sesungguhnya kami dan al-Habib Abdullah al-Haddad tumbuh bersama, namun Allah SWT memberinya kelebihan lebih dari kami. Yang sedemikian itu, kami lihat hidup al-Habib Abdullah sejak masa kecilnya telah mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu ketika ia membaca Surat Yasiin, maka ia sangat terpengaruh dan menangis sejadi-jadinya, sehingga ia tidak dapat menyelesaikan bacaan surat yang mulia itu, maka dari kejadian itu dapat kami maklumi bahwa al-Habib Abdullah telah diberi kelebihan tersendiri sejak di masa kecilnya.”
Al-Habib Abdullah sering berziarah kubur pada Hari Jum’at sore setelah melakukan shalat Ashar di masjid al-Hujairah. Selain itu, al-Habib Abdullah al-Haddad sering berziarah kubur pada Hari Selasa sore. Setelah usianya semakin lanjut dn dan kekuatannya semaki menurun, maka al-Habib Abdullah tidak berziarah pada Hari Jum’at dan Selasa seperti biasanya, adakalanya beliau berziarah pada Hari Sabtu dan hari-hari lainnya sebelum matahari naik.
                              
Di antara wirid al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad setiap harinya adalah kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAH” sebanyak seribu kali. Tetapi di Bulan Ramadhan dibaca sebanyak dua ribu kali setiap harinya. Beliau menyempurnakannya sebanyak tujuh puluh ribu kali pada waktu enam hari di Bulan Syawal. Selain itu, beliau mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAH AL-MALIKUL HAQQUL MUBIIN” sebanyak seratus kali setelah Shalat Dzuhur.
Al-Habib Abdullah berkata: “Kami biasa melakukan shalat al-Awwabin sebanyak dua puluh rakaat.”
Al-Habib Abdullah sering berpuasa sunnah, khususnya pada hari-hari yang dianjurkan, seperti Hari Senin dan Hari Kamis, hari-hari putih (Ayyamul baidh), Hari Asyura, Hari Arafah, enam hari di Bulan Syawal dan lain sebagainya sampai di masa senjanya. Beliau selalu
menyembunyikan berbagai macam ibadah dan mujahadahnya, beliau tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain, kecuali untuk memberikan contoh kepada orang lain.
Selain di kenal sebagai ahli ibadah dan mujahadah, al-Habib Abdullah juga dikenal seorang yang istiqomah dalam ibadah dan mujahadahnya seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. al-Habib Ahmad an-Naqli berkata: “al-Habib Abdullah adalah seorang yang sangat istiqamah dalam mengikuti semua jejak kakeknya, Rasulullah SAW.”
Dalam masalah ini, al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Kami telah mengamalkan semua jejak Nabi Muhammad SAW dan kami tidak meninggalkan sedikitpun daripadanya, kecuali hanya memanjangkan rambut sampai di bawah ujung telinga, karena Nabi SAW memanjangkan rambutnya sampai di bawah ujung kedua telinganya.”
Tentang kesabaran al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, sejak masa kecil beliau sudah mengalami berbagai cobaan, diantaranya adalah ketika ia menderita penyakit cacar sampai kedua matanya tidak dapat melihat. Meskipun begitu, ia rajin mencari ilmu dan beribadah di masa kecilnya, hingga melakukan shalat sunnah seratus rakaat setiap paginya hingga Waktu Dzuhur tiba. Disebutkan bahwa ia selalu menyembunyikan berbagai cobaan yang dideritanya, sampai di akhir usianya. Dalam masalah ini beliau berkata kepada seorang kawan dekatnya:
“Sesungguhnya penyakit demam di tubuhku sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu dan hingga kini masih belum meninggalkan aku, meskipun demikian tidak seorangpun yang mengetahui penyakitku ini, sampaipun keluargaku sendiri.”
Tentang Tarekat al-Ba’alawi, al-Habib Abdullah mengatakan:
“Tarekat kami adalah mengikuti tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dan mengikuti jejak para salafunas shalihin di segala bidangnya.”
Al-Habib Abdullah kembali menjelaskan:  “Kami tidak mengikuti tuntunan, kecuali tuntunan Allah SWT, tuntunan Rasul-Nya dan jejak al-Faqih al-Muqaddam. Dan tarekat orang-orang yang menuju kepada Allah SWT dan kami tidak membutuhkan tarekat selain tarekat ini. Para sesepuh kami al-Ba’alawi telah menetapkan sejumlah petunjuk bagi kami, karena itu kami tidak akan mengikuti petunjuk lain yang bertentangan dengan petunjuk mereka.”
Telah kami sebutkan bahwa di masa kecil beliau, al-Habib Abdullah mengerjakan shalat sunnah seratus rakaat setiap harinya setelah pulang dari rumah gurunya di waktu Dhuha. Karena itulah tidaklah mengherankan jika Allah SWT memberinya kedudukan sebagai ‘WALI AL-QUTHUB’ sejak usianya masih remaja.
Disebutkan bahwa beliau mendapat kedudukan Wali al-Quthub lebih dari ‘ENAM PULUH TAHUN’. Beliau menerima libas atau pakaian kewalian dari al-’Arif Billah al-Habib Muhammad bin Alawi (Shahib Makkah). Beliau menerima libas tersebut tepat ketika al-Habib Muhammad bin Alawi wafat di kota Makkah pada tahun 1070 H. Pada waktu itu, usia al-Habib Abdullah 26 tahun. Kedudukan Wali al-Quthub itu beliau sandang hingga beliau wafat (1132 H). Jadi beliau menjadi Wali al-Quthub lebih dari ’60 TAHUN’.
Beliau menuntut ilmu pada ulama’-ulama’ di zamannya, diantaranya guru-guru beliau adalah: Sayyiduna Al-Quthub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, Al-Habib Al-’Allamah Agil bin Abdurrahman As-Segaf, Al-Habib Al-’Allamah Abdurrahman bin Syeikh Aidid, Al-Habib Al-’Allamah Sahl bin Ahmad Bahsin Al-Hudayli Ba’alawi, dan termasuk guru-guru beliau juga adalah Al-Imam Al-’Allamah guru besar kota Makkah Al-Mukarromah, Al-Habib Muhammad bin Alwi As-Segaf, dan masih banyak lagi guru-guru beliau yang lainnya.
Beliau memiliki banyak murid, diantara murid-murid belia adalah: Al-Habib Hasan bin Abdullah Al-Haddad (putera beliau sendiri), Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi, Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih, Al-Habib Umar bin Zain bin Smith, Al-Habib Muhammad bin Zain bin Smith, Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Bar, Al-Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahman As-Segaf, Al-Habib Muhammad bin Umar bin Thoha Ash-Shafi As-Segaf, dan masih banyak lagi murid-murid beliau.
Di antara karya-karya tulis al-Habib Abdullah adalah: ar-Risalah Adab as-Suluk al-Murid, ar-Risalatul al-Mu’awanah, an-Nafaais al-’Ulwiyah Fi al-Masailis as-Sufiyah, Sabiilul Iddikar, al-Ithaaf as-Saail, at-Tatsbiitul Fuaad, ad-Da’wah at-Taamah, an-Nasaih ad-Diiniyah, dan masih banyak lagi lainnya.
Dan termasuk wirid-wirid yang beliau susun diantaranya yang sangat terkenal adalah ‘Ratib Al-Haddad’ yang beliau susun di malam Lailatul Qadr tahun 1071 H.
Beliau wafat hari Senin Malam Selasa tanggal 7 Dzulqa’dah 1132 H, dan di makamkan di pemakaman Zambal di kota Tarim-Hadhramaut-Yemen.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang teramat luasnya dan meridhoinya serta memberi kita manfaat dan barokah beliau serta ilmu-ilmu beliau di dunia dan akhirat. Aamiin..


ZAKAT

DELAPAN GOLONGAN MUSTAHIQ
( orang yang menerima ZAKAT )

إنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهاَ وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغاَرِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِـيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ.   ( التوبة : ٦٠ )
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang :
1.      Fakir    2. Miskin    3. Pengurus zakat    4. Para muallaf yang dibujuk hatinya   
 5. Budak memerdekan dirinya   6.   Orang yang berhutang    7. Orang yang sedang berjuang dijalan Allah    8. Orang yang sedang dalam perjalanan.
Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
----------------------------------------------------------------------------------------

  1.      Fakir :   Orang yang tidak mempunyaiharta dan tidak mempunyai pekerjaan.
  2.     Miskin : Orang yang mempunyai harta dan pekerjaan, akan tetapi tidak           mencukupinya.
  3.     Pengurus Zakat : Orang yang dipekerjakan oleh Pemerintah / lembaga Resmi Negara
  4.     Para Muallaf yang dibujuk HatinyaOrang yang baru masuk islam dan     Orang         yang niat islamnya masih Lemah
  5.      Budak yang memerdekakan dirinya : Budak Mukatab
  6.     Orang yang berhutang :   Orang yang terbelit hutang dirinya sendiri atau         orang     yang berhutang untuk kepentingan Umum seperti Pesantren, masjid , menjamin hutang orang lain Dll.
  7.          Orang yang sedang berjuang dijalan Allah  : Jihad dengan syarat tidak           diupah/ di     gaji oleh pemerintah ( semata-mata karena ALLAH )
  8.      Orang yang sedang dalam perjalanan : Orang yang dalam perjalanan menuju   pulang kampung Atau ke tempat tujuan yang Baik & sedangkan dia dalam keadaan kehabisan / kehilangan bekal tersebut.